Oleh: Adi Bejo Suwardi, S.Si, M.Si
Kepiting bakau merupakan salah
satu jenis hewan berkaki sepuluh yang hidup alami (habitat) nya di wilayah
pantai berair payau, terutama di wilayah hutan bakau yang berlumpur tebal,
saluran dan tambak-tambak, sampai menjangkau laut dekat pantai. Kepiting Bakau
dengan nama ilmiah Scylla serrata termasuk
ke dalam dalam kelas Crustacea, subkelas Malacostraca, ordo Decapoda, famili
Portunidae dan genus Scylla. Saat ini dikenal ada 4 (empat) jenis kepiting dari
genus Scylla, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla paramamosain, dan Scylla olivacea (Keenan,1999). Kepiting
bakau umum ditemukan pada hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, terutama
di daerah mangrove, di daerah tambak air payau atau muara sungai.
1. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Gambar 1. Morfologi
Kepiting Bakau
Bentuk badan kepiting bakau
relatif pendek dengan abdomen yang tereduksi. Badan yang pendek diakibatkan
oleh fusi antara kepala dan toraks membentuk cefalotoraks dan ditutupi oleh karapas. Karapas berbentuk
menyerupai segi enam, agak bulat atau oval, ukuran chela kanan lebih panjang daripada chela kiri, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih dan
diadaptasikan untuk berenang. Sisi anteroteral
karapas berduri sembilan buah dengan ukuran yang hampir sama. Jarak antar ruang
rongga mata (orbital) luas, bagian
depan mempunyai enam buah duri, serta memiliki ruas propodus cheliped yang menggembung. Pasangan kaki
pejalan yang terakhir (pleopod V)
berbentuk memipih pada ruas terakhirnya (propodus
dan daktilus).
Capit (pleopod I) mempunyai bagian propodus menggembung dengan permukaan yang licin. Kepiting bakau memiliki 6 buah duri diantara sepasang mata, dan 9 duri disamping kiri dan kanan mata (Karim, 1998). Kepiting bakau mempunyai sepasang capit, pada kepiting jantan dewasa Cheliped (kaki yang bercapit) dapat mencapai ukuran 2 kali panjang karapas. Selain itu, kepiting bakau diketahui memiliki 3 pasang kaki jalan dan mempunyai sepasang kaki renang dengan bentuk pipih. Warna kepiting bakau bervariasi dari ungu sampai hijau dan coklat kehitaman (Siahainenia, 2008). Pola poligonal terlihat jelas pada hampir semua bagian tubuh. Duri pada bagian dahi karapas lebar, tinggi dan agak tumpul, berbentuk segitiga. Empat duri yang di tengah berukuran panjang hampir sama sehingga terlihat rata.
Capit (pleopod I) mempunyai bagian propodus menggembung dengan permukaan yang licin. Kepiting bakau memiliki 6 buah duri diantara sepasang mata, dan 9 duri disamping kiri dan kanan mata (Karim, 1998). Kepiting bakau mempunyai sepasang capit, pada kepiting jantan dewasa Cheliped (kaki yang bercapit) dapat mencapai ukuran 2 kali panjang karapas. Selain itu, kepiting bakau diketahui memiliki 3 pasang kaki jalan dan mempunyai sepasang kaki renang dengan bentuk pipih. Warna kepiting bakau bervariasi dari ungu sampai hijau dan coklat kehitaman (Siahainenia, 2008). Pola poligonal terlihat jelas pada hampir semua bagian tubuh. Duri pada bagian dahi karapas lebar, tinggi dan agak tumpul, berbentuk segitiga. Empat duri yang di tengah berukuran panjang hampir sama sehingga terlihat rata.
Gambar 2. Struktur
Kepiting Bakau
Kepiting bakau jantan berbeda
dengan kepiting betina. Kepiting jantan ruas abdomennya sempit, sedangkan pada
betina lebih besar. Perut kepiting betina berbentuk lonceng (stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu.
Perbedaan fungsi pleopod yang terletak
dibawah abdomen. Pleopod pada
kepiting jantan berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai
tempat melekatnya telur (Moosa et al,
1985). Kepiting jantan mempunyai abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai
segi tiga sama kaki, sedangkan pada kepiting betina dewasa agak membundar dan
melebar.
Gambar 3. Kerang bakau jantan (a) dan betina (b)
2. Daur hidup Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Kepiting betina matang pada ukuran
lebar karapas antara 80-120 mm sedangkan kepiting jantan matang secara
fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm. Kepiting bakau yang telah
siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau dan tambak. Proses
perkawinan dimulai dengan induk jantan mendatangi induk betina, kemudian induk
betina akan dipeluk oleh induk jantan dengan menggunakan kedua capitnya yang
besar. Induk kepiting jantan kemudian menaiki karapaks induk kepiting betina,
posisi kepiting betina dibalikkan oleh yang jantan sehingga posisinya
berhadapan, maka proses kopulasi akan segera berlangsung. Setelah perkawinan
berlangsung kepiting betina secara perlahan-perlahan akan beruaya di perairan
bakau, tambak, ke tepi pantai, dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan
pemijahan (Kasry, 1996). Sedangkan kepiting bakau jantan setelah melakukan
perkawinan akan tetap berada diperairan hutan mangrove, tambak atau sela-sela
perakaran mangrove.
Gambar 4. Siklus
hidup kepiting bakau
Induk kepiting betina berimigrasi ke pantai sambil membawa telur-telur terbuahi
yang dilekatkan di pleopod. Telur
tersebut akan menetas dalam beberapa minggu. Setelah telur menetas di perairan
laut, telur akan masuk pada stadia larva tingkat I (zoea I) yang akan terus
berganti kulit (moulting). Larva kemudian
terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai stadia zoea V (pascalarva), kurang lebih 18 hari.
Selanjutnya stadia zoea V akan mengalami pergantian kulit menjadi megalopa
(11-12 hari). Pada stadia megalopa, bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting
dewasa tetapi masih memiliki bagian ekor. Setelah tadia zoea V, kemudian memasuki
stadia juvenil yang disebut juga stadia kepiting muda yang terlah berbentuk
kepiting dengan organ tubuhnya yang lengkap.
Waktu yang diperlukan dari tingkat megalopa
menjadi kepiting muda sekitar 15 hari. Kepiting bakau muda akan bermigrasi
kembali ke hulu estuari dan berangsur-angsur memasuki hutan mangrove hingga
berkembang menjadi kepiting bakau dewasa. Kepiting dewasa melakukan pergantian
kulit (moulting) sebanyak 17-20 kali tergantung
pada kondisi lingkungan dan ketersedian makanan. Kepiting bakau mampu bertahan
hidup selama 2-3 tahun dan mencapai ukuran lebar karapas maksimum lebih dari
200 mm (Bonine et al. 2008).
3. Habitat Kepiting
Bakau (Scylla serrata)
Kepiting bakau banyak ditemukan
di daerah hutan bakau sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan
kepiting bakau (Mangove crab). Jenis hewan
ini biasanya lebih menyukai tempat yang berlumpur di daerah hutan mangrove. Kepiting
terdistribusi hanya terbatas pada daerah litoral dengan kisaran kedalaman 0 –
32 meter. Pada siang hari, kepiting tingkat juvenile jarang terlihat di daerah
bakau kerena lebih suka membenamkan diri di lumpur.
Gambar 5. Habitat kepiting bakau
Kepiting bakau bersifat euryhaline atau dapat hidup di perairan dengan kisaran salinitas yang lebar, yaitu 5 – 40 ppt. Selama pertumbuhannya, kepiting bakau menyukai air dengan salintas antara 5 – 25 ppt. Oleh karena itu, kepiting – kepiting muda banyak ditemukan di pesisir pantai atau di muara sungai yang memiliki salinitas relatif rendah. Kepiting muda juga ditemukan di sungai yang jauh dari laut dengan salinitas sekitar 5 ppt. Kepiting tidak menyukai air yang keruh dan memerlukan air bersih yang bebas pollutan.
4. Pakan dan Kebiasaan Makan
Kepiting bakau dewasa termasuk
jenis hewan pemakan segala dan bangkai (omnivorous
scavenger). Pada saat larva, kepiting bakau memakan plankton, dan pada saat
juvenil menyukai detritus. Kepiting dewasa menyukai ikan, udang, dan moluska
terutama kerang-kerangan. Kepiting bakau juga menyukai potongan daun terutama
daun mangrove. Jenis kepiting ini mengkonsumsi bahan pakan dari tanaman yang
banyak mengandung serat. Menurut Anderson et
al. (2004) digestibility
(kecernaan) kepiting pada serat dan semua bahan baku pakan sumber nabati sangat
tinggi, yaitu berkisar antara 94,4 – 96,1%.
Hasil penelitian menunjukkan
adanya enzim selulase pada saluran pencernaan kepiting bakau yang diduga
merupakan kontribusi dari mikroflora saluran pencernaan. Keberadaan enzim
selulase memungkinkan kepiting bakau mampu mencerna serat makanan. Kepiting
bakau termasuk hewan nokturnal yang aktif di malam hari untuk mencari makanan. Sementara
itu, kepiting bakau pada siang hari akan bersembunyi di lubang-lubang, di bawah
batu, atau di sela akar bakau.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson A, P. Mather
and Richardson. 2004. Nutrition of the mud crab Scylla serrata (forskal). In Allan and D. Fielder (ed.). Proceeding
of Mud Crab Aquaculture in Australia and Southeast Asia. pp 57-59
Bonine KM, EP
Bjorkstedt, KC Ewel, and M Palik. 2008. Population characteristik of the
mangrove crab Scylla serrata (Decapoda: Portunidae) in Kosrae, Federation
States of Micronesia: effect of harvest and implications for management. Jurnal
Pacific Science 62: 1-19
Karim MY. 1998. Aplikasi
Pakan Alami (Brachionus plicatilis dan Nauplis Artemia salina) yang
Diperkaya Dengan Asam Lemak Omega-3 dalam Pemeliharaan larva Kepiting Bakau (Scylla
serrata Forsskal). [Disertasi].
Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas.
Jakarta: Penerbit Bharata.
Keenan, CP. 1999. The
Fourth Spesies of Scylla. In Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra
Moosa MK, I Aswandy, A
Kasry. 1985. Kepiting Bakau Scylla
serrata (Forskal,1775) dari Perairan Indonesia. Jakarta: Sumberdaya Hayati
Perairan LONLIPI
Siahainenia, L. 2008.
Bioekologi kepiting bakau (Scylla
spp) di ekosistem mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor